top of page

Saya Menolak RUU Permusikan yang Disusun dengan Dasar yang Lemah dan Rawan Diskriminasi


Kehadiran RUU Permusikan telah menuai banyak kritik dari berbagai pihak—sebagian besar merupakan pelaku musik. Artikel yang membahas permasalahan RUU ini pun telah banyak bermunculan.


Untuk melengkapi kritik-kritik yang sudah disampaikan, tulisan ini akan membahas kelemahan mendasar dan beberapa dampak jangka panjang yang terselubung yang ditimbulkan oleh RUU Permusikan, yang belum dibahas secara mendalam.


Definisi Musik: Gagalnya Perumusan Fondasi


RUU Permusikan dibentuk berdasarkan Naskah Akademik RUU Tentang Permusikan yang disusun oleh Tim Penyusun RUU Tentang Permusikan yang dipertanyakan kredibilitasnya, karena minim latar belakang sebagai pelaku musik atau akademisi musik.


Dikutip dari Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Permusikan

Karena RUU Permusikan berbicara menyangkut musik, definisi musik merupakan sesuatu yang mendasar dan, disadari atau tidak, memengaruhi seluruh aspek yang terdapat dalam Naskah Akademik dan RUU Permusikan itu sendiri.


Namun, sebagai fondasi yang membentuk RUU, naskah ini, terutama pembahasan mengenai pengertian musik, sangatlah lemah. Hal ini dapat dilihat dari pengertian musik yang mengutip beberapa sumber yang dipertanyakan secara keilmuannya, sumber yang tidak terkini, dan sumber yang tidak ditulis oleh ahlinya.


Dalam naskah tersebut, rujukan seperti Experiment and Quasi-Experimental Design for Research (Campbell & Stanley, 2002), "Makalah Seni Musik" (Fauzan dkk, 2016, dimuat dalam situs blogspot), dan Bahan Diklat Seni Musik (Kurdi, 2011) dipertanyakan pembahasannya mengenai hakikat musik secara mendalam.


Sedangkan rujukan seperti Panduan Pengajaran Buku Pengajaran Musik Melalui Pengalaman Musik (Jamalus, 1988), Kamus Musik (Soeharto, 1992), dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Moeliono dkk, 1990) sudah tidak sejalan dengan perkembangan musik masa kini—lihatlah tahun penerbitannya.




Dikutip dari Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Permusikan

Alhasil, definisi musik yang dicantumkan dalam RUU Permusikan pun menjadi sangat membatasi. Mengacu kepada Pasal 1 Nomor (1), definisi ini berbunyi, “Musik adalah rangkaian nada atau suara dalam bentuk lagu atau komposisi musik melalui irama, melodi, harmoni, lagu, dan ekspresi sebagai satu kesatuan.”


Pengertian ini sangat sempit karena sampai saat ini definisi musik akan selalu diperdebatkan dan tidak dapat dirumuskan. Pengertian ini pun tidak sesuai dengan perkembangan musik yang terjadi di Indonesia dan dunia karena musik merupakan entitas yang selalu bergerak dan berubah.


Fenomena musik yang selalu bergerak ini dijawab dengan penelitian psikologi, ilmu saraf, ilmu kognitif, dan biomusikologi dalam kurun waktu 40 tahun terakhir yang mencapai persamaan pendapat bahwa musik merupakan produk pemikiran manusia melalui sistem persepsi dan kognitif yang kompleks di dalam otak, bukan hanya artefak fisik yang dapat dimiliki dan diperjualbelikan.


Kerumitan perumusan definisi musik ini ditambah pula dengan penelitian yang satu per satu mulai menangkis anggapan lama soal musik, yakni, musik tidak sama dengan bunyi yang ditata sedemikian rupa, dan musik tidak sama dengan bahasa yang memiliki sintaksis yang jelas. Musik lebih merupakan pola-pola yang ditangkap dan diproses oleh otak manusia, sehingga apa yang menjadi musik bagi seseorang belum tentu menjadi sebuah musik bagi orang lain. Memodifikasi kutipan dari Margaret Wolfe Hungerford, (the existence of) music is in the mind of the beholder.


Beberapa rujukan yang dapat digunakan untuk melihat fenomena musik terkini di antaranya (namun tidak terbatas pada) The Origins of Musicality (Honing, 2018), Embodied Music Cognition and Mediation of Technology (Leman, 2008), Music and Embodied Cognition: Listening, Moving, Feeling, and Thinking (Cox, 2016), Sweet Anticipation: Music and Psychology of Expectation (Huron, 2006), dan On Repeat: How Music Plays the Mind (Margulis, 2014).


Itulah mengapa sekarang banyak jenis musik yang muncul dengan gayanya yang sangat beragam, tak terpikirkan sebelumnya, dan sulit (kalau bukan mustahil) untuk dikategorikan. Maka muncullah musik dengan bentuk yang ‘tidak umum’, materi musikal seperti bunyi bising nonmelodis, musik ruang suara (soundscape), eksperimen musik yang menggunakan benda-benda di sekitar kita dan instrumen konvensional yang diperlakukan secara nonkonvensional, wilayah abu-abu antara pembacaan dramatis dan musik, hingga penggabungan musik dengan disiplin lain seperti teater, tari, sastra, dan seni rupa, yang semuanya dapat mengernyitkan dahi kita saat ini namun akan menjadi sesuatu yang biasa pada waktunya kelak di masa depan, bersamaan dengan munculnya musik lain yang bentuknya tak akan pernah bisa diprediksi.


Definisi musik yang sempit dalam RUU ini berpotensi mengesampingkan musik lain yang tidak sesuai dengan musik yang berlirik, bermelodi, dan nirlirik (instrumental, istilah yang umum dipakai). Padahal, bunyi derit pintu, barisan semut, dan ontran-ontran pendukung capres saja berpotensi menjadi musik.


Sebagai konsekuensi dari sempitnya definisi ini, sebagian pelaku musik tidak akan dianggap sebagai “Pelaku Musik” karena pelaku tersebut terlibat dengan musik yang tidak sesuai dengan definisi dalam RUU.


Melihat kontradiksi antara pengertian musik yang mustahil untuk dirumuskan dan kenyataan bahwa definisi musik yang digunakan di dalam RUU ini sangat sempit—tanpa perlu artikel ini dibaca sampai selesai—dapat disimpulkan bahwa RUU Permusikan sudah lemah sejak awal karena pengertian musik—beserta dengan pengertian pelaku musik, kegiatan permusikan, proses kreasi musik, reproduksi musik, distribusi musik, dan konsumsi musik—serampangan dirumuskan.


Pemahaman yang bermacam-macam mengenai definisi musik adalah penting untuk pengembangan wacana. Namun, definisi yang digunakan dalam RUU harus berlaku umum dan tidak boleh bersifat multitafsir.


Jika fondasi Naskah Akademik dan Pasal 1 RUU ini saja sudah lemah, apa yang bisa diharapkan dari keseluruhan RUU Permusikan ini?


Uji Kompetensi: Rawan Diskriminasi


Pertanyaan mendasar mengenai “Uji Kompetensi” dalam Pasal 32 hingga Pasal 35 adalah bagaimana standar kompetensi profesi pelaku musik ditentukan dan siapa yang akan dipilih sebagai pengujinya.


Apakah pemerintah siap kerepotan menyediakan penguji lintas genre dan lintas kompetensi? Ataukah penguji hanya asal dipilih sehingga bisa terjadi, misalnya, musisi elektronik diuji oleh penyanyi/penulis lagu pop, seperti mas Anang Hermansyah? Tentu Uji Kompetensi yang terjadi akan dipertanyakan keabsahannya.


Contoh tersebut di atas adalah yang paling ekstrem. Di sisi lain, contoh yang paling sederhana pun juga tetap problematis. Apakah pemerintah siap menyediakan penguji kompetensi untuk setiap musik tradisional Indonesia yang sangat beragam? Saya pikir tidak akan adil jika pemain saluang Sumatra Barat diuji oleh pemain sasando dari Nusa Tenggara Timur. Pun jika pemain saluang Sumatra Barat diuji oleh penguji dari Sumatra Barat, haruslah spesifik ahli saluang juga, yang artinya pemain talempong harus diuji oleh ahli talempong. Akan ada berapa ribu penguji yang mesti disiapkan?


Ini baru musik tradisional Indonesia. Belum lagi musik yang nontradisional Indonesia. Bahkan ketika pemain musik yang diuji dan yang menguji memainkan alat musik yang sama, saya rasa tidak sah juga Uji Kompetensi untuk pemain gitar rock dilakukan oleh ahli gitar jazz. Pemain gitar rock juga harus diuji oleh ahli gitar rock dan pemain gitar jazz juga harus diuji oleh ahli gitar jazz. Jadi butuh tambahan berapa ribu penguji lagi dengan area kompetensi yang spesifik seperti ini?


Karena jika kita menggunakan istilah "Uji Kompetensi", ini tidak sama dengan ajang pencarian bakat dengan juri yang itu-itu saja tapi menilai peserta dengan latar belakang jenis musik dan kemampuan bermusik yang beragam. Uji Kompetensi harus dilakukan oleh penguji dengan kompetensi yang diujikan.


Lha wong mahasiswa jurusan Jazz yang mau lulus kuliah saja harus diuji oleh penguji utama dari jurusan Jazz, bukan dari musik Klasik Eropa, masa’ Uji Kompetensi yang diatur dalam UU akan dilakukan dengan standar yang lebih rendah?


Terlebih lagi, Uji Kompetensi justru hanya akan mengakomodasi pelaku musik yang sudah mapan secara karir dan rawan mengesampingkan musisi yang baru mulai meniti karir. Uji Kompetensi bisa menjadi bias hasilnya jika penguji hanya mewakili golongan atau genre musik tertentu, karena disadari atau tidak, selera akan memengaruhi. Sehingga, Uji Kompetensi rawan menimbulkan diskriminasi terhadap pelaku musik nonarus utama (non-mainstream).


Selain merepotkan, Uji Kompetensi yang tidak relevan ini akan menjadi ajang buang-buang uang.


Ancaman Terhadap Komunitas, Penghobi, dan Musisi yang Baru Meniti Karir


Pasal 18 (pertunjukan musik melibatkan “Penyelenggara Musik” yang berlisensi) dalam RUU Permusikan akan membatasi kesempatan bermusik bagi berbagai lapis masyarakat Indonesia, termasuk komunitas-komunitas musik yang menyelenggarakan pertunjukan secara mandiri.


Selain itu, pelaku musik akar rumput (seperti penghobi dan musisi yang ingin mendapatkan pengalaman lebih dan luas) biasanya meniti karirnya dari bawah dengan mengadakan pertunjukan musik secara mandiri. Jika penyelenggaraan musik ini harus melibatkan penyelenggara berlisensi, akan menjadi hambatan bagi karir mereka.


Bukan hanya itu, bayangkan jika komunitas macapatan di RT dan pementasan musik dalam rangka 17-an di kampung mesti bekerja sama dengan penyelenggara berlisensi untuk bisa pentas. Ini sebuah ancaman bagi kreativitas warga.


Hal yang demikian dapat memangkas kesempatan bermusik bagi komunitas, penghobi, dan musisi yang baru meniti karir. Akibat jangka panjang yang ditimbulkan adalah terhambatnya perkembangan musik di Indonesia secara besar-besaran.


Ancaman Terhadap Pendidikan Musik


Lebih jauh lagi, Pasal 18 dapat mengancam keberlangsungan pendidikan musik di Indonesia, khususnya murid dan mahasiswa yang mengenyam pendidikan musik secara formal, nonformal, dan informal.


Karena pendidikan musik mengandalkan praktik lapangan, murid dan mahasiswa musik biasanya sudah melakukan pertunjukan secara mandiri sejak sebelum lulus. Banyak dari mereka yang berusaha melakukan pementasan baik di dalam maupun di luar institusi untuk mendapatkan pengalaman lebih lanjut.


Jika untuk mengadakan pertunjukan semacam ini saja murid dan mahasiswa musik mesti bekerja sama dengan penyelenggara berlisensi, lagi-lagi, akan terjadi kerepotan yang tidak perlu. Pendidikan musik mereka akan terhambat akibat ketentuan RUU yang sesungguhnya tidak relevan.


Ketidakadilan Bagi Anak-Anak dan Masyarakat Penyandang Disabilitas


Untuk diakui sebagai profesi, "Pelaku Musik yang berasal dari jalur pendidikan atau autodidak harus mengikuti uji kompetensi," sesuai dengan Pasal 32.


Lalu bagaimana dengan nasib penyanyi cilik dan musisi anak-anak yang tampil dalam pertunjukan musik secara umum? Apakah mereka mesti mengikuti Uji Kompetensi? Ini adalah pertanyaan yang menggelitik dan sekaligus memperlihatkan bahwa RUU Permusikan semakin rumit dan timpang penerapannya karena tidak berlaku secara umum.


RUU ini pun akan menyudutkan masyarakat penyandang disabilitas (MPD) karena kemampuan mereka belum tentu dianggap memenuhi standar yang diberlakukan oleh pemerintah. Masalah ini juga akibat dari lemahnya perumusan definisi musik dan, secara otomatis, pengertian kompetensi musik, karena keadaan yang dimiliki oleh MPD berbeda-beda sehingga kemampuan bermusiknya berbeda-beda dan musiknya pun akan menjadi berbeda-beda.


Konsekuensinya, kesempatan dan keragaman musik yang dimiliki oleh anak-anak dan MPD akan terancam. Lagi-lagi, RUU Permusikan memilih keberpihakannya pada golongan tertentu, yakni musisi (dewasa) yang berkarir di musik arus utama (mainstream) dan telah mapan secara karir.


Kesimpulan


Keberadaan RUU Permusikan ini bukan hanya tidak perlu, namun juga berbahaya bagi nasib musik Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena itu, saya menolak RUU Permusikan.


Saran saya, bukan hanya pelaku musik saja yang mesti menolak RUU ini, tapi juga seluruh seniman dan pencinta seni di Indonesia, karena jika RUU Permusikan ini sampai disahkan, bukan tidak mungkin akan muncul RUU serupa, seperti RUU Persenirupaan, RUU Perteateran, RUU Pertarian, RUU Persastraan, dan RUU persenian lainnya yang secara hakikatnya tidak perlu dirancang.


 

Jay Afrisando

Komposer Musik, Seniman Bunyi

Kandidat PhD, Music Composition, University of Minnesota

Master of Arts, Music Composition, University of Minnesota (2018)

S1 Seni Musik, Institut Seni Indonesia Yogyakarta (2012)

Karyanya dapat disimak di https://www.jayafrisando.com/


Tags
bottom of page